Selama beberapa dekade, universitas-universitas di Israel telah menggunakan penyensoran sebagai alat untuk membungkam mereka yang menyuarakan dukungan untuk hak-hak Palestina dan menentang tindakan berlebihan Israel, terutama sejak serangan Hamas pada 7 Oktober.
Salah satu korban paling mencolok dari tindakan ini adalah Profesor Nadera Shalhoub-Kevorkian dari Universitas Ibrani Yerusalem (HUJI).
Pada bulan April tahun ini, ia ditangkap oleh polisi Israel karena kritiknya terhadap Zionisme dan apa yang ia sebut sebagai kampanye genosida Israel di Gaza, menurut Somdeep Sen, pakar studi pembangunan internasional dari Universitas Roskilde, dalam laporannya kepada Al Jazeera.
Sebelum penangkapannya, Shalhoub-Kevorkian telah menjadi sasaran kampanye untuk mendiskreditkan kata-kata dan tulisannya, yang oleh pihak berwenang dan media digambarkan sebagai “hasutan untuk kekerasan” terhadap Israel.
Meskipun kampanye ini dipimpin secara terbuka oleh otoritas Israel, jejaknya juga melibatkan tempat kerjanya, Universitas Ibrani Yerusalem.
Pada akhir Oktober tahun lalu, pimpinan universitas mengirim surat kepada Shalhoub-Kevorkian yang menyatakan keterkejutan mereka atas keputusannya untuk menandatangani petisi yang menyerukan gencatan senjata di Gaza dan mendukung solusi politik yang komprehensif untuk konflik Israel-Palestina. Solusi ini mencakup penghentian pendudukan dan penghapusan sistem apartheid.
Surat itu juga menyatakan bahwa pimpinan universitas merasa malu bahwa Shalhoub-Kevorkian adalah bagian dari staf pengajar, dan mereka menyarankan agar ia mempertimbangkan untuk mengundurkan diri.
Surat tersebut kemudian disebarluaskan secara publik, yang semakin memperburuk kampanye terhadap dirinya.