Lebih dari 400 karyawan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dilaporkan kehilangan pekerjaan dalam beberapa hari terakhir, menurut pemberitaan The New York Times yang mengutip sejumlah pejabat dan staf lembaga tersebut.
Sebanyak 36 pegawai yang terkena pemutusan kerja berasal dari Office of Transition Initiatives (OTI)—unit USAID yang berfokus pada dukungan transisi politik dan promosi demokrasi di negara mitra. Sementara itu, sekitar 200 karyawan lainnya berasal dari biro bantuan kemanusiaan, dan sisanya berasal dari divisi dukungan logistik yang menangani penyaluran bantuan untuk korban bencana alam dan konflik bersenjata.
Beberapa pegawai yang terdampak telah mengabdi selama lebih dari 25 tahun dan memiliki pengalaman bekerja di zona konflik seperti Suriah, Afghanistan, dan Ukraina.
Dalam perkembangan terkait, Elon Musk—miliarder yang memimpin Departemen Efektivitas Pemerintah AS (Department of Government Effectiveness atau DOGE)—melontarkan kritik pedas terhadap USAID. Melalui pernyataan publik pada 2 Februari, Musk menyebut USAID sebagai “organisasi kriminal” yang “seharusnya dibubarkan.” Ia juga mengklaim bahwa Presiden Donald Trump mendukung penutupan lembaga ini dan proses penghentian operasionalnya sedang berjalan, dengan pendanaannya yang kini telah dibekukan.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio—yang ditunjuk Trump sebagai penjabat kepala USAID—menyatakan bahwa pemerintah tengah melakukan peninjauan menyeluruh terhadap badan tersebut. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan USAID selaras dengan prioritas kebijakan luar negeri AS saat ini. Rubio menilai bahwa dana yang telah digelontorkan selama ini tidak memberikan manfaat yang sepadan bagi kepentingan nasional AS. Meski begitu, ia tidak menutup kemungkinan bahwa penyaluran bantuan akan dilanjutkan atau bahkan ditingkatkan setelah proses evaluasi selesai.