Dalam beberapa tahun terakhir, Inggris tertinggal dalam hal investasi pertahanan jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Rusia, China, dan Iran. Laporan yang diterbitkan oleh The Times mengungkapkan bahwa anggaran pertahanan Inggris hanya mengalami kenaikan sebesar 14% selama dekade terakhir, sementara Rusia, Iran, dan China masing-masing mencatatkan kenaikan lebih besar, dengan persentase berturut-turut 34%, 57%, dan 60%. Penurunan investasi ini mempengaruhi kesiapan dan kemampuan militer Inggris dalam menghadapi ancaman global.
Menurut analisis dari Perpustakaan House of Commons, kurangnya dana yang dialokasikan untuk pertahanan telah menyebabkan berbagai masalah, termasuk menyusutnya jumlah pasukan darat, armada kapal selam yang semakin tua, serta sistem pertahanan udara yang sudah usang. Bahkan, dua kapal induk utama Angkatan Laut Kerajaan Inggris, HMS Prince of Wales dan HMS Queen Elizabeth, telah menghadapi berbagai masalah teknis yang mengganggu operasional mereka. Selain itu, Angkatan Laut juga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pesawat F-35 yang diperlukan untuk mendukung misi kapal induk tersebut, serta pengadaan kapal pengawal dan kapal pendukung yang memadai.
James Heappey, mantan Menteri Negara Angkatan Bersenjata, menyatakan bahwa saat ini kekuatan angkatan darat, laut, dan udara Inggris tidak mencukupi untuk menghadapi ancaman yang berkembang. Dalam rencana yang diumumkan oleh pemerintah Konservatif sebelumnya, pasukan darat diperkirakan akan menyusut menjadi 72.500 tentara—angka yang dianggap jauh di bawah standar yang diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman eksternal. Anggaran militer Inggris untuk tahun depan diperkirakan sekitar USD 71,3 miliar, yang setara dengan sekitar 2,3% dari PDB negara tersebut.
Sementara itu, di tingkat internasional, Presiden terpilih AS, Donald Trump, sempat mengisyaratkan bahwa negara-negara anggota NATO, termasuk Inggris, harus meningkatkan pengeluaran pertahanan mereka hingga mencapai 5% dari PDB, sebagaimana dilaporkan oleh Financial Times. Selain masalah pendanaan, Inggris juga menghadapi kesulitan dalam mempertahankan jumlah personel di angkatan bersenjatanya. Meskipun ada kenaikan gaji yang signifikan—terbesar dalam 22 tahun terakhir—lebih dari 15.000 prajurit Inggris dilaporkan telah keluar dari angkatan bersenjata dalam 12 bulan terakhir.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran terkait kesiapan militer Inggris untuk menghadapi potensi ancaman global di masa depan, mengingat penurunan jumlah personel dan kurangnya investasi dalam peralatan pertahanan yang canggih. Dengan meningkatnya ketegangan internasional dan ancaman dari negara-negara besar seperti Rusia dan China, banyak yang bertanya-tanya apakah Inggris dapat mempertahankan posisi pertahanan yang kuat di tengah tantangan ini.