Kain songket, yang kaya akan sejarah, memiliki hubungan erat dengan budaya masyarakat Palembang dan Minangkabau yang berasal dari Pulau Sumatera. Menurut Hikayat Palembang, kain ini pertama kali muncul pada masa kemahkotaan Kerajaan Sriwijaya. Kain songket umumnya dibuat dari sutra, bahan yang biasa diproduksi oleh petani ulat sutra lokal, sementara benang emas yang digunakan seringkali diproduksi oleh masyarakat setempat dengan mengolah emas dari berbagai daerah di Sumatera.
Proses pembuatan songket dilakukan dengan menggunakan mesin tenun bingkai, di mana pola-pola rumit tercipta melalui teknik penambahan benang emas atau perak menggunakan jarum. Keindahan dan kemewahan kain ini menjadikannya simbol status sosial dan budaya pada masa lalu. Seperti yang dikutip dari Gramedia, kain songket awalnya berasal dari Palembang dan kemudian menyebar ke wilayah-wilayah yang dulunya berada di bawah pengaruh Sriwijaya, termasuk Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, serta sebagian Jawa.
Di Indonesia, kain songket berlapis emas sering dikaitkan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya, yang merupakan kerajaan maritim yang berkuasa pada abad ke-7 hingga ke-14. Kain songket menjadi bagian tak terpisahkan dari busana adat, dikenakan oleh bangsawan, dan digunakan dalam berbagai upacara adat yang masih berlangsung hingga kini. Berbagai motif songket pun bermunculan, mulai dari motif geometris, tanaman, hingga saluran-saluran yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Ada pula motif yang terinspirasi dari makanan khas Melayu, seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang dipercaya menjadi makanan favorit raja-raja pada zaman dahulu.
Motif-motif yang ditemukan dalam kain songket sangat beragam dan menjadi ciri khas dari daerah penghasil kerajinan ini. Sebut saja motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Tampuak Manggih, dan masih banyak lagi, yang semuanya mengandung makna mendalam bagi masyarakat yang memproduksinya. Salah satu daerah yang terkenal dengan songket berkualitas tinggi adalah Pandai Sikek di Minangkabau, dengan motif-motif khas yang sangat memikat.
Namun, perkembangan kain songket tidak berhenti pada busana adat saja. Seiring berjalannya waktu, songket mulai memasuki dunia fashion modern. Dulu hanya digunakan dalam acara-acara seremonial, kini songket telah berevolusi menjadi material utama dalam berbagai koleksi busana siap pakai. Salah satu desainer yang mengangkat kain songket dalam karyanya adalah Yurita Puji. Ia menggunakan songket tenunan masyarakat Sawahlunto, Sumatera Barat, untuk koleksi busana modern yang mencakup atasan, outer, celana, dan rok.
Yurita Puji menyatakan bahwa tujuan dari koleksinya adalah untuk memperkenalkan songket kepada pasar yang lebih luas, termasuk melalui panggung Muffest 2025. Ia bekerja sama dengan UKM Dolas Songket, komunitas pengrajin kain songket, untuk melestarikan budaya ini dengan cara yang relevan dengan kebutuhan pasar saat ini. “Melestarikan budaya harus berbanding lurus dengan perluasan pasar. Dengan pasar yang lebih luas, pendapatan pengrajin akan meningkat, yang pada gilirannya dapat memotivasi generasi muda untuk melestarikan produk ini,” jelas Yurita.
Produk songket yang dihasilkan dalam koleksi ini memiliki desain yang lebih ringan dan motif yang lebih modern, membuatnya lebih sesuai dengan selera pasar. Dengan harga yang lebih kompetitif, songket kini lebih terjangkau dan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh berbagai kalangan. “Melalui kerja sama ini, saya berharap dapat membantu melestarikan kain songket dan memperkenalkannya ke tingkat internasional,” tambah Yurita.