Pada tanggal 29 Desember 2024, Jepang mengalami perubahan drastis dalam citranya di dunia internasional, dengan Tokyo kini disebut sebagai “ibu kota seks” Asia. Fenomena ini muncul di tengah kondisi ekonomi Jepang yang memburuk, ditandai dengan melemahnya nilai Yen dan meningkatnya tingkat kemiskinan. Situasi ini telah menarik perhatian banyak wisatawan asing yang mencari pengalaman “wisata seks” di ibu kota Jepang.
Keadaan ekonomi Jepang saat ini menunjukkan tanda-tanda kemunduran, dengan inflasi yang meningkat dan daya beli masyarakat yang menurun. Hal ini menyebabkan banyak warga Jepang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dalam konteks ini, Tokyo telah bertransformasi menjadi pusat bagi pria asing yang mencari layanan seksual, sebuah perubahan yang mencolok dibandingkan dengan masa-masa ketika Jepang dikenal sebagai negara maju dan makmur.
Menurut laporan dari Sekretaris Jenderal Dewan Penghubung Pelindung Pemuda (Seiboren), Yoshide Tanaka, terdapat peningkatan signifikan jumlah pria asing yang datang ke Tokyo untuk mencari layanan seksual. Setelah pembatasan perjalanan akibat pandemi Covid-19 dicabut, banyak wisatawan dari berbagai negara, terutama China, mulai berdatangan ke taman-taman di Tokyo yang kini menjadi lokasi perdagangan seks. Hal ini menunjukkan pergeseran perilaku dan minat wisatawan terhadap aspek-aspek tertentu dari budaya Jepang.
Di tengah krisis ini, banyak wanita muda di Jepang terpaksa terjun ke industri seks sebagai cara untuk bertahan hidup. Dengan meningkatnya permintaan dari wisatawan asing, taman-taman seperti Okubo menjadi lokasi di mana transaksi seksual terjadi secara terbuka. Meskipun tidak ada pihak yang secara resmi mengatur kegiatan ini, para wanita sering kali menghadapi risiko tinggi, termasuk kekerasan dan eksploitasi.
Pihak kepolisian Tokyo telah berupaya menertibkan kawasan-kawasan tersebut dengan menangkap sejumlah wanita yang terlibat dalam prostitusi jalanan. Meskipun demikian, tantangan tetap ada karena banyak wanita merasa lebih aman melayani pelanggan asing daripada pelanggan lokal yang dianggap sebagai ancaman. Anggota parlemen juga mulai mengkhawatirkan reputasi Jepang di mata dunia akibat fenomena ini dan mendesak perlunya regulasi lebih ketat terhadap industri seks.
Transformasi Tokyo menjadi ibu kota seks Asia mencerminkan dampak serius dari krisis ekonomi yang melanda Jepang. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan asing dan perubahan perilaku sosial masyarakat, penting bagi pemerintah untuk menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini tanpa merusak reputasi negara. Semua mata kini tertuju pada bagaimana Jepang akan menangani situasi ini dan langkah-langkah apa yang akan diambil untuk melindungi warganya serta memulihkan citra nasional di kancah internasional.